0

Prinsip hidup dalam AL Qashas 77

Posted by kemenag hima an on 11/16/2013 11:02:00 PM in

"Dan tuntutlah dengan harta kekayaan yang telah dikurniakan Allah kepadamu akan pahala dan kebahagiaan hari akhirat dan janganlah engkau melupakan bahagianmu (keperluan dan bekalanmu) dari dunia dan berbuat baiklah (kepada hamba-hamba Allah) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu (dengan pemberian nikmatNya yang melimpah-limpah) dan janganlah engkau melakukan kerosakan di muka bumi sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang berbuat kerosakan".

1. carilah negeri akhirat yang telah Allah berikan kepadamu dan jangan lupakan bagianmu dari dunia”. (QS. Al-Qashash:77).
Ayat ini tidak memerintahkan untuk mencari dunia dan akhirat 50%-50%, tetapi perintah untuk berusaha keras mencari akhirat dengan catatan penghidupan duniawi jangan ditinggal seratus persen., Perbandingannya, sama dengan nasehat orang tua pada anaknya: “Nak, belajarlah yang giat di kampus, tapi jangan lupa istirahat”. Nasehat itu bukan perintah untuk belajar giat dan istirahat dengan giat juga bukan? Bukan juga perintah untuk belajar 50% dan istirahat 50%, tetapi istirahat seperlunya saja dan selebihnya belajar yang giat.
Dalam konteks ayat tersebut, berarti pesannya adalah: Beribadahlah dengan giat untuk akhirat dan carilah dunia seperlunya saja, jangan diprioritaskan melebihi akhirat dan jangan ditinggalkan seratus persen. 

KESEIMBANGAN ANTARA DUNIA DAN AKHIRAT
Keseimbangan dalam Islam disebut dengan istilah wasathaniyyah dan tawazzun. Secara harfiah wasathanniyah berarti moderat atau ditengah-tengah/pertengahan dan tawazzun berarti seimbang. Menurut Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Karakteristik Dienul Islam; dua unsur ini adalah salah satu ciri utama dan yang memungkinkan manusia dapat melaksanakan ajaran Islam dalam kondisi bagaimanapun, kapanpun dan dimanapun
Prinsip keseimbangan telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 143, bahwa Allah telah menjadikan umat Islam adalah ummatan wasathan “umat yang moderat, ditengah-tengah” dan agar bisa mengambil setiap ibrah dan hikmah yang ada kapanpun dan dimanapun serta ummat yang bisa memadukan akal dan hati, ilmu dan ‘amal serta kebahagiaan di dunia dan kesejahteraan di akhirat. Allah berfirman : Wakadzalika ja’alnakum ummatan wasathanDan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” (Q.S.Al-Baqarah : 143).
Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, suatu hal  dimana dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat melihat dan dilihat oleh siapapun dalam penjuru yang berbeda (laksana posisi Ka’bah yang berada dipertengahan) dan ketika itu manusia dapat menjadi teladan bagi semua pihak.
                Kata “ummatan wasathan”  dalam ayat di atas dipahami dalam arti pertengahan dalam pandangan Islam tentang kehidupan. Pandangan Islam tentang hidup adalah  di samping ada di dunia juga ada di akhirat. Keberhasilan di akhirat ditentukan oleh iman dan amal shalih di dunia. Manusia tidak boleh tenggelam dalam materialisme, tidak juga membumbung tinggi dalam spritualisme dengan mengenyampingkan duniawi.
Umat Islam dituntut untuk mengimplementasikan prinsip keseimbangan antara dunia dan akhirat. Sebab  jika hanya berorientasi untuk mengejar dunia, maka manusia akan seperti mayat hidup dan terjebak dalam rutinitas hidup yang bisa membuat seseorang mudah stress dan cahaya hatinya akan redup dan tidak mampu mengemban amanah. Akan tetapi juga tidak dianjurkan jika berlebihan hanya menyibukkan diri dengan urusan akhirat sehingga berpaling dari kehidupan dunia. Karena itulah konsep prinsip tawazun sangat diperlukan.
Paling tidak terdapat tiga orientasi hidup manusia :
Pertama, golongan yang secara khusus mengonsentrasikan dirinya untuk ukhrawi sehingga ia tidak peduli dengan urusan-urusan duniawi. Kehidupan mereka hanya digunakan untuk beribadah, berzikir, memohon ampun kepada Allah Swt. Tidak ada urusan yang mereka lakukan kecuali yang berhubungan dengan ibadah mahdhah dan kehidupan akhirat. Bahkan golongan ini cenderung memusuhi dunia. Harta benda dipandang sebagai penghalang dan melalaikan ibadah. Karena kekhusyukannya dalam beribadah, mereka tidak lagi sempat mencari nafkah hidup. Bukan hanya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan cukup, untuk kebutuhan dirinya pun seadanya.
Kedua, golongan yang terlalu disibukkan dengan urusan duniawi. Mereka lupa ibadah kepada Allah. Urusan-urusan duniawi telah melalaikannya berzikir. Karena orientasinya duniawi, maka tidak ada yang dipikirkan kecuali urusan untung rugi, berapa income /pendapatan , dan lain sebagainya. Setiap peluang tak pernah disia-siakan tanpa memperdulikan halal-haram. Tidak peduli hasil korupsi atau manipulasi. Semua dijalani hanya untuk menumpuk-numpuk harta, demi kemegahan hidup dan menggapai kekaguman orang lain terhadap dirinya.
Ketiga, golongan yang memilih keseimbangan “waktu” untuk urusan duniawi dan ukhrawi. Mereka sadar bahwa hidup ini akan ada akhirnya, dan tidak ada yang bisa dijadikan bekal hidup di alam yang kekal itu kecuali amal shaleh. Mereka juga sadar apa yang mesti dijalani selama hidup di dunia ini. Mereka tahu bahwa Allah memerintahkan agar mencari karunia dunia dan bekal akhirat sehingga ia bisa merasakan bahagianya hidup di dunia dan kenikmatan di akhirat kelak. Hari-hari mencari duniawi dijalani dengan penuh kesabaran dan ketawakkalan. Mereka sangat hati-hati, sehingga bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah lainnya, menjadi bagian penting dalam aktivitas sehari-harinya. Dalam mengekspresikan keberagamaan, Islam sangat menekankan kewajaran. Islam tidak menyukai hal-hal yang berlebihan. Rasulullah sendiri sebagai panutan agung kaum Muslimin memberikan contoh yang wajar dan sederhana dalam menjalani hidup. Sikap wajar dan sederhana dicontohkan Rasulullah SAW itu sesuai dengan anjuran dan ajaran Qur’ani.
Dalam Q.S. Al-Qashash ayat 77 ditegaskan dengan jelas mengenai prinsip keseimbangan meraih kebahagian dunia dan akhirat : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”. Prinsip keseimbangan pada ayat ini senada dengan Q.S.Al-Baqarah ayat 201  berikut; “Dan di antara mereka ada yang berdo’a, “Ya Tuhan kami, Anugerahkanlah kami hasanah/kebaikan  di dunia dan kebaikan di akhirat, dan  lindungilah  kami dari azab neraka”.
Kata “hasanah” dalam ayat di atas mengandung makna yang sangat luas, bukan hanya dalam arti iman yang kokoh, kesehatan, afiat dan rezeki yang memuaskan, pasangan yang ideal dan anak-anak yang shalih tetapi juga segala yang menyenangkan di dunia dan berakibat menyenangkan pula di akhirat. Jadi jelaslah tawazun (prinsip keseimbangan antara kreativitas dalam dunia dan aktivitas untuk akhirat) sangat dituntut dalam kehidupan ini. Di antara kerja, aktivitas, upaya, dan mencari nafkah pada suatu saat dan pada saat yang lain mengisolasi ruh dan hati dari semua kesibukan itu dalam kekhusyukan dzikir kepada Allah. karena, Islam mengajarkan umatnya agar meraih materi yang bersifat duniawi dengan nilai-nilai samawi.
Wallahu A’lam

Wallahu A’lam

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Kementerian Agama HIMA AN UIN SGD Bandung All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.