Di dalam hidup ini ada dua jenis
peristiwa yang datang menyambangi kita, yaitu peristiwa yang kita inginkan dan
peristiwa yang tidak kita inginkan. Untuk jenis yang pertama, bila ia malas
datang maka berbagai ikhtiar kita kerahkan untuk membuatnya sudi bertandang.
Dan apabila ia datang, kita akan menyambutnya dengan segenap kegembiraan.
Untuk jenis yang kedua, segala
daya kita upayakan untuk menolak kehadirannya. Dan bila dengan terpaksa dia
datang, berbagai reaksi kita tampilkan, dari mulai atraksi kemarahan sampai
pertunjukan kesediahan.
Alkisah, rupanya hari ini, Darno,
saudara sepupu Sarimin, tengah kedatangan peristiwa jenis kedua. Berhari-hari
ia hanya mengurung diri di kamar. Makan ia tak mau, mandi ia malas, dan bicarapun
seperlunya saja.
Ini semua berawal dari ujian
penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) yang baru saja diikuti Darno. Dalam
pengumuman yang sudah dikeluarkan oleh panitia, nama Darni tidak tercantum.
Padahal sejak dulu di bangku SMA Darno sudah bermimpi menjadi PNS. Berbagai
upaya telah ia kerahkan, mulai dari upaya teknis seperti belajar soal-soal
ujian PNS, sampai upaya magis seperti puasa dan tirakat. Tetapi hasilnya Darno
tetap tidak diterima menjadi PNS.
Sarimin ikut prihatin engan
musibah yang menimpa saudara sepupunya itu. Ia kemudian mengajak Darno datang
ke rumah Sang Guru, Kiai Soleh.
“Tumben ngajak Darno kesini,
Min,” sapa Sang Guru.
“Ya memang tumben, Kiai, ini saja
saya yang maksa kok,” jawab Sarimin.
“Hari gini masih main paksa, apa
kata dunia! Hahaha ...,” Kiai Soleh berseloroh.
“Ah, Kiai ....”
Darno hanya diam memperhatikan
dialog guru dan murid di hadapannya.
Sarimin kemudian menjelaskan
panjang lebar mengapa hari itu ia bertandang dengan membawa Darno.
“Oh, begitu ...,” Kiai Soleh
manggut-manggut.
“Tolong didongengi dia ini,
Kiai!”
“Loh, kok didongengi?” Darno yang
tadi diam terbelalak. “Katanya tadi mau minta doa-doa, gimana sih kamu ini,
Min?”
“Hahaha ..., kelakuanmu itu masih
tetap saja Min, Min ...,” Kiai Soleh tertawa lepas.
Sarimin cengar-cengir.
“Ya sudah, begini saja, saya mau
mendongeng dulu, habis itu kita baca doa bersama.”
“Ya begitu lebih baik, Kiai!”
kata Sarimin tegas.
Darno masih gondok karena
dikerjai sarimin.
“Dahulu kala tersebutlah sebuah
kerajaan yang adil dan makmur,” kata Kiai Soleh membuka dongengnya.
Kerajaan itu dipimpin oleh dua
serangkai yang sangat serasi, yaitu raja dan patih. Sang Raja adalah seorang
yang tegas dan pemberani, sedangkan Sang Patih adalah seorang yang bijaksana.
Setiap kali Sang Raja akan melakukan tindakan atau memutuskan sesuatu, dia
selalu berunding terlebih dulu dengan Sang Patih.
Suatu hari Sang Raja memanggil
patihnya. “Paman Patih, kemarilah!”
“Hamba, Paduka Raja, ada apa
gerangan Paduka memanggil hamba?” tanya Sang Patih.
“Paman Patih, beberapa hari lagi
aku akan berburu, kuharap engkau bersedia menemaniku.”
“Tentu saja, Paduka, hamba akan
senang hati menemani.”
Pada hari yang direncanakan, Raja
dan Patih berangkat berburu ke hutan. Sang Raja menunggang kuda di depan, di
belakangnya Sang Patih diikuti beberapa prajurit.
Setelah menempuh perjalanan
beberapa lama, rombongan itu memasuki hutan belantara. Tiba-tiba didekat sebuah
pohon besar, kuda Sang Raja meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya. Ini pertanda kuda itu melihat sesuatu yang berbahaya. Ternyata benar,
seekor ular berbisa terlihat menghadang ditengah jalan.
Sang Raja segera bertindak dengan
mencabut pedangnya. Tetapi rupanya ular itu bergerak lebih cepat. Sebelum
pedang Raja terayun, ular itu sudah menyerang dan berhasil menggigit jari
kelingking Raja. Secepat kilat sang Raja mengayunkan pedang untuk membalas ular
itu. Seketika ular itu pun terpotong menjadi dua.
“Hah! Ular sialan, jariku
digigtnya ...,” umpat Sang Raja dengan marah.
Sang Patih melihat bahwa ular
yang baru menggigit raja bukanlah ular biasa, melainkan ular yang sejenis
berbisa.
“Paduka Raja, bisa ular ini
sangat ganas! Cepat potong jari kelingking Paduka sebelum bisanya menjalar ke
seluruh tubuh Paduka!” ucap sang Patih dengan nada cemas.
Mendengar perkataan itu, Sang
Raja cepat memotong jari kelingkingnya dengan pedang. Ia selamat dari bisa ular
yang sangat berbahaya, tetapi ia harus kehilangan jari kelingkingnya.
Ketika beberapa prajurit membalut
lukanya, Raja terlihat sangat kecewa. Ia terus mengeluhkan satu jarinya yang
dipotong.
“Sungguh sial nasibku hari ini.
Jariku digigit ular ..., kini jariku hilang satu,” ucap Raja dengan nada sedih.
Mendengar Sang Raja berkeluh
kesah, Sang Patih yang bijaksana berusaha menghiburnya.
“Paduka Raja, terimalah semua
yang sudah menjadi ketentuan Yang Kuasa. Pasti ini ada hikmahnya,” kata Patih
dengan penuh empati.
“Hah, Patih! Enak saja kau
ngomong begitu! Tanganku kini tidak utuh lagi. Kau benar-benar tidak mengerti
perasaanku!”
Sang Raja benar-benar murka
mendengar kata-kata patihnya. Dengan geram diperintahkannya para prajurit untuk
menangkap Patih.
“Prajurit, tangkap patih yang
kurang ajar ini! Masukkan dia kedalam penjara!”
Beberapa prajurit pengikut
rombongan Raja segera menangkap Sang Patih. Mereka membawa Sang Patih kembali
ke istana untuk dijebloskan ke dalam penjara. Sementara itu, walau satu jarinya
terputus Sang Raja tetap melanjutkan berburu dengan ditemani beberapa prajurit
yang tersisa.
Rombongan kecil Sang Raja semakin
lama semakin jauh masuk ke dalam hutan belantara. Tanpa disadari oleh Sang
Raja, rupanya rombongan itu telah memasuki wilayah Bubuhu. Mereka baru sadar
ketika beberapa orang suku bubuhu mengepung rombongan Raja.
“Hahaha ..., akhirnya kita
mendapat kurban untuk upacara kita,” kata salah seorang pengepung.
“Sungguh beruntung nasib kita,
hahaha ...,” ucap orang-orang suku Bubuhu lainnya sambil berjingkrak-jingkrak
dan mengacung-ngacungkan tombak mereka.
Para prajurit Raja yang tinggal
sedikit itu tidak berdaya melawan anggota suku Bubuhu yang jauh lebih banyak. Mereka
semua ditangkap, dijadikan tawanan, lalu dibawa ke hadapan kepala suku Bubuhu.
“Kepala Suku, akhirnya kita
mendapat korban untuk persembahan kepada dewa-dewa,” kata pemimpin prajurit
suku Bubuhu yang berhasil menangkap rombongan Raja.
“Bgus! Coba kemari biar ku
periksa,” kata kepala suku Bubuhu.
Rombongan Raja yang menjadi
tawanan itu lalu dijejerkan di hadapan kepala suku Bubuhu. Sang Kepala Suku
kemudian memeriksa tangkapan mereka satu per satu. Ketika memeriksa Sang Raja,
kepala Suku Bubuhu terkejut.
“Hai pengawal, lepaskan orang
satu ini. Jari tangannya tidak utuh, dia tidak bisa kita jadikan persembahan
upacara kita, nanti malah membawa sial untuk kita!”
Dengan segera seorang pengawal
melepaskan Raja dari ikatannya. Sang Raja gembira bukan main. Ia segera memacu
kudanya untuk pulang kembali ke istana. Begitu sampai di istana, Sang raja
segera menuju penjara untuk membebaskan Sang Patih.
“Paman Patih, maafkan aku, aku
telah salah memenjarakanmu. Ternyata yang kau katakan benar, putusnya jariku ad
hikmahnya. Aku batal dijadikan persembahan oleh suku Bubuhu.”
“Paduka Raja tidak perlu minta
maaf, justru hamba yang berterima kasih kepada Paduka,” ucap Sang Patih dengan
mantap.
“Mengapa kau berterima kasih,
Paman Patih?”
“Kalau saja Paduka tidak
memenjarakan hamba, mungkin hamba sudah menjadi bagian orang-orang yang
dikurbankan oleh suku Bubuhu.”
Sang raja manggut-manggut
mendengar perkataan patihnya. Ia pun semakin percaya dengan kata0kata patih,
bahwa semua yang diberikan Tuhan pastilah yang terbaik baginya.
“Tidak semua yang kita inginkan
akan membawa kebaikan dan tidak semua yang kita benci membawa keburukan,” kata
Kiai Soleh menutup dongengnya.
“Tuh, dengar enggak?” Sarimin
berkata kepada Darno.
Darno masih tetap diam.
Darno tidak sendirian. Ada banyak
orang yang merasa di dunia ini mau kiamat manakala sesuatu yang diimpikannya
gagal dicapai. Boleh jadi ia seorang pemuda yang ditolak cintanya oleh sang
idola. Boleh jadi ia seorang ayah yang tengah mendambakan anaknya diterima di
sekolah favorit, tetapi ternyata sang anak harus tereliminasi karena nilai
NEM-nya cekak. Dan masih banyak lagi kasus serupa.
Kitab suci mengatakan, “Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang
kamu tidak ketahui.” (QS. Al-Baqarah : 216)
Tak terhitung jumlah orang yang
kecewa dengan sesuatu yang dulu didambanya dan tidak terbilang juga orang yang
berbahagia dengan sesuatu yang dulu yang dulu ditolaknya mentah-mentah.
Semua kita mafhum jika ada
orangtua yang tega mengecewakan anak tercintanya ketika sang anak meminta
sesuatu, karena menurut kacamata orang tua permintaan itu malah akan
membahayakan diri sang anak sendiri. Ada sejumlah kisah orangtua yang menolak
lamaran seorang pemuda karena menurutnya pemuda itu tidak akan bisa membahagiakan
anak gadisnya, meski pemuda itu sangat dicintai sang anak.
Nah, kalau kerena cinta orangtua
bisa bertindak seperti itu, apalagi Zat Yang Maha Penyayang, yang dari-Nya lah
cinta dan kasih sayang orangtua itu berasal.
Jadi bagaimana?? sungguh mensyukuri
apa yang telah kita dapatkan itu nikmat dari pada bergelimang marah dalam hal
yang tidak mau kita terima tetapi telah kita terima. Kuncinya itu adalah
berfikir positiflah kepada Allah SWT.
Sumber: Awang Surya. 2011. Pesantren Dongeng. Jakarta: Zaman